Title: ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
1POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
- ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
- (ORDE BARU)
2ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
(ORDE BARU)
- Praktek kebijaksanaan luar negeri Indonesia
sebelum orde lama yang revolusioner ditimbulkan
dan ditopang keberadaannya oleh pola kekuasaan
Demokrasi Terpimpin. -
3Dengan konsolidasi pemerintahan yang efektif
dibawah pimpinan Jenderal Soeharto, pola itu
secara mendasar mengalami perubahan, sedangkan
pernyataan dan simbolisme yang menyertainya di
kesampingkan.
4Sepanjang kebijaksanaan luar negeri ditimbulkan
oleh sifat tata politik dalam negeri, maka
perubahan politik dalam negeri digantikan secara
logis oleh arah baru dalam kebijaksanaan luar
negeri
5ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
(ORDE BARU)
- Perubahan politik yang diperkenalkan oleh Orde
Baru dibawah kepemimpinan Soeharto menyangkut
pengurangan secara berarti pluralisme didalam
sistem, dan bukan tampilnya unsur-unsur baru ke
panggung kekuasaan.
6ABRI, terutama Angkatan Darat, yang mengemban
komando puncak politik RI, telah menjadi faktor
penting sejak awal revolusi nasional. Sebagai
salah satu institusi, AD dijiwai oleh perasaan
nasionalisme yang kuat dan mempunyai pandangan
yang sama dengan Soekarno dan para pendukungnya
mengenai keharusan berperanan dalam kawasan Asia
Tenggara.
7Tambahan lagi, Soeharto menggunakan struktur
konstitusi yang sama dengan pendahulunya. Malahan
justru Angkatan Daratlah yang mendorong Soekarno
untuk menerapkan Demokrasi Terpimpin berdasarkan
UUD 45 pada bulan Juli 1959
8ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
(ORDE BARU)
- Konstitusi itu ditegaskan sebagai sumber
keabsahan politik, karena hal itu sesuai dengan
tujuan politik Soeharto dan juga karena
persepsinya mengenai kebutuhan utama negara
Indonesia. Oleh karena itu, tidak terdapat suatu
ketidaksinambungan menyeluruh dalam struktur tata
politik setelah kudeta yang gagal itu. - Peter Polomka, Indonesia and the Stability of
South-East Asia, Survival, Mei-Juni 19973, hal
111-113.
9Sehubungan dengan itu, kebijaksanaan luar negeri
tidak dibentuk dalam cetakan baru sama sekali,
terutama karena Angkatan Darat juga mengalami
kerapuhan nasional yang telah mengakibatkan
timbulnya kecurigaan yang mendalam atas maksud
semua kekuatan luar di kawasan ini.
10ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
(ORDE BARU)
- Meskipun Soeharto mulai memerintah pada tahun
1965, namun pada awalnya ia tidak secara penuh
terlibat dalam perumusan politik luar negeri.
Meskipun demikian, ia menyetujui kebijakan yang
sesuai dengan prioritas utamanya. -
- Salah satu alasan mengapa ia tidak terlibat
secara intens dalam politik luar negeri, karena
ia tidak memiliki banyak pengalaman dalam
masalah-masalah internasional, dan menurut
Roeder, ia tidak terlalu tertarik pada politik
luar negeri saat itu. - Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di
Bawah Soeharto, LP3ES, Jakarta, 1998, hal 48. - Roeder, Soeharto The Smilling General, 179.
11Namun secara bertahap, Soeharto mulai tertarik
pada politik luar negeri. Ini menjadi jelas di
tahun 1970-an ketika Soeharto dan Adam Malik
bersilang pendapat mengenai normalisasi hubungan
Indonesia-Cina.
12ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
(ORDE BARU)
- Pada awal periode Orde Baru, sedikitnya ada dua
kelompok perumus politik luar negeri Pertama,
Militer (DEPHANKAM (Departemen Pertahanan dan
Keamanan), LEMHANAS (Lembaga Pertahanan
Nasional), dan BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen
Negara) Kedua, Departemen Luar Negeri.
13Deplu, sejak awal didominasi oleh para diplomat
karier sipil, dan peranannya berubah dari waktu
ke waktu. Sebelum era Soekarno, Deplu memainkan
peranan yang menentukan dalam pembuatan politik
luar negeri. Perannya berkurang selama Soekarno
dan semakin berkurang selama periode orde baru.
14ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
(ORDE BARU)
- Selama periode orde baru, terdapat tiga menteri
luar negeri, semuanya berasal dari sipil. Mereka
adalah Adam Malik (seorang politisi dan diplomat
yang berpengalaman), Mochtar Kusumaatmadja
(seorang profesor hukum), dan Ali (Alex) Alatas,
seorang diplomat karier. Disamping tiga Menlu,
ada beberapa intelektual/diplomat yang menonjol
di Deplu, yaitu Anwar Sani (duta besar untuk
PBB) Hasyim Djalal (ahli hukum kelautan), dan
Nana Sutresna (PBB dan Gerakan Non-Blok).
15PERAN MILITER
- Setelah kudeta tahun 1965, militer memasuki Deplu
dalam rangka mengikis anggota-anggota PKI dan
simpatisannya. Pada bulan April 1966, suatu
kelompok dibentuk didalam Deplu untuk
membersihkan unsur-unsur yang tidak diinginkan.
Hal ini dimaksudkan untuk menghadapi
kegiatan-kegiatan PKI di luar.
16Kelompok ini kemudian berubah menjadi Laksus
(Pelaksana Khusus), bertanggung jawab langsung
kepada Kopkamtib (Komando Operasi untuk Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban). Dua perwira militer
yang terlibat dalam kelompok ini adalah Kolonel
Her Tasning dan Kolonel Soepardjo Rustam
17PERAN MILITER
- Di luar Deplu, ada kelompok-kelompok militer lain
yang juga terlibat dalam mempengaruhi polugri
orde baru. Kelompok ini adalah HANKAM, BAKIN,
BAIS (Badan Intelejen Strategis), LEMHANAS, dan
Setneg (Sekretaris Negara).
18Beberapa perwira yang banyak mempengaruhi
perumusan luar negeri namun tidak berada dibawah
payung Hankam adalah Letjend Ali Moertopo dan
Sudjono Humardani, yang merupakan patron dari
CSIS (Centre for Strategic and International
Studies). CSIS yang didirikan tahun 1971, menjadi
think-tank baik untuk politik dalam negeri maupun
luar negeri.
19Deplu, Militer dan Meningkatnya Peran Soeharto
- Sampai dengan pertengahan tahun 1980-an, kelompok
militer dan Deplu tidak selalu sepakat, kecuali
isu-isu tertentu. Jika mereka tidak sepakat,
militer biasanya melakukan jalannya sendiri.
20Contoh kasus
- masalah pinjaman dari Jepang (Informasi Adam
Malik Jepang tidak bisa memberikan tambahan yang
lebih banyak, Militer tidak percaya, dan
mendorong Soeharto untuk melawat ke Jepang,
akhirnya informasi Adam Malik yang akurat) - kebijakan Indonesia atas Cina di PBB (Adam Malik
mendukung usulan Albania, untuk menerima RRC
sebagai satu-satunya wakil Cina di PBB, Militer
memilih abstein) - masalah referendum Irian Barat tahun 1969. Adam
Malik menginginkan kebijakan yang lebih toleran
terhadap para penentang, namun pandangan militer
bersifat sebaliknya.
21Deplu, Militer dan Meningkatnya Peran Soeharto
- Berkenaan dengan masalah-masalah internasional,
militer berhasil dalam melangkahi lembaga-lembaga
lain yang secara konvensional berkaitan dengan
masalah-masalah politik luar negeri, seperti
Deplu, Komisi I DPR, dan Bappenas yang berwenang
dalam masalah-masalah ekonomi dalam dan luar
negeri. - Pada awalnya, ada pertentangan antara militer
dengan Deplu, dalam hal ini militer muncul
sebagai pemenang. Invasi ke Timor Timur pada
tahun 1970-an, penanganan hubungan
Indonesia-Vietnam, dan dasar dari hubungan
Indonesia-Australia hingga pertengahan tahun
1980-an memberikan gambaran banyak pemain yang
berperan.
22Deplu, Militer dan Meningkatnya Peran Soeharto
- Militer Indonesia secara khusus menaruh perhatian
pada isu-isu politik luar negeri yang berkaitan
dengan masalah keamanan dan ideologi. Sampai
dengan pertengahan tahun 1980-an, militer
berhasil memperlihatkan inisiatifnya dalam
politik luar negeri. - Namun demikian, peran pribadi Presiden Soeharto
meningkat jelas pada awal tahun 1980-an. Semakin
jelas pada pertengahan 1980-an, bahwa Presiden
memainkan peran yang menentukan.
23POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA SELAMA ORDE BARU
- Presiden Soeharto yang tadinya bersikap pasif
terhadap politik luar negeri, Setelah pemilu
tahun 1982, menjadi sangat aktif dalam perumusan
politik luar negeri ketika ia tertarik untuk
menjalankan profil politik luar negeri tingkat
tinggi bagi Indonesia.
24Setelah pemilu 1982, Soeharto semakin percaya
diri. Golkar memperoleh kemenangan mutlak dalam
pemilu dan berbeda dengan pemilu sebelumnya,
tidak terdapat kekerasan dan demonstrasi
mahasiswa sebelum pengambilan suara, dan ini
menunjukkan tidak ada lagi kekuatan-kekuatan
oposisi.
25POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA SELAMA ORDE BARU
- Selama pemilihan Presiden tahun 1983, Soeharto
dicalonkan oleh tiga partai politik (Golkar, PDI,
PPP) sebagai calon tunggal untuk jabatan
presiden. Dalam pilpres sebelumnya, PPP hanya
menyepakati untuk mencalonkan Soeharto pada
menit-menit terakhir. - Pada tahun 1980-an juga, masalah Timor Timur
dibawah kendali. Soeharto mungkin berpikir bahwa
ini saatnya bagi Indonesia untuk memainkan peran
aktif dalam masalah-masalah internasional. Dan
memang sejumlah peristiwa sejak tahun 1984
kedepan memperlihatkan kecenderungan ini. - Leo Suryadinata and Sharon Siddique (Eds), Trends
in Indonesia II, Singapore University Press,
Singapore, 1981, p. 26.
26Peringatan 30 tahun KAA
- Pada tahun 1985, Indonesia menjadi tuan rumah
peringatan Konferensi Asia Afrika di Bandung.
Sekitar 100 negara Asia-Afrika diundang (termasuk
RRC). Namun dalam pertemuan tersebut, seluruh
pesrta tidak dapat menyetujui beberapa isu utama
internasional. - Akibatnya tidak ada resolusi. Beberapa komentar
berpendapat bahwa ini bukanlah suatu Konferensi.
Dari sudut pandang Indonesia, ini adalah langkah
pertama bagi Indonesia untuk aktif kembali di
arena internasional.
27Ketua Gerakan Non-Blok dan Pertemuan APEC
Pada tahun 1987, Presiden Soeharto mengirim Wakil
Presiden Umar Wirahadikusumah untuk menghadiri
Konferensi Non-Blok di Zimbabwe. Umar
diperintahkan untuk menyampaikan keinginan
Indonesia menjadi Ketua Konfederasi Non-Blok.
28Ketua Gerakan Non-Blok dan Pertemuan APEC
- Tawaran itu ditolak, alasannya Gerakan Non-Blok
yang didominasi negara-negara pro-Soviet itu
tidak setuju terhadap kepemimpinan Indonesia yang
pro-Barat. Invasi Indonesia di Timor Timur juga
telah menimbulkan amarah negara-negara Afrika.
Yang terakhir, penolakan Indonesia untuk
mengizinkan PLO membuka kantornya di Jakarta,
dicatat oleh berbagai pengamat sebagai alasan
kegagalan Soeharto untuk menjadi Ketua Gerakan
Non-Blok.
29Tahun 1988, upaya lain dilakukan oleh Ali Alatas,
tetapi sekali lagi Indonesia tidak mendapatkan
dukungan mayoritas dari negara-negara yang hadir.
Indonesia tidak putus asa, dan akhirnya berhasil
memperoleh kepemimpinan di tahun 1991.
30Perlu dicatat bahwa hanya di tahun 1990-an
Indonesia antusias menyokong perdagangan bebas,
baik di ASEAN maupun APEC untuk menunjukkan peran
kepemimpinannya
31- Pada tahun 1986, terjadi ketegangan antara
Singapura dengan Malaysia akibat kunjungan
Presiden Israel Chaim Herzog. Malaysia memprotes
kunjungan tersebut dengan memanggil pulang duta
besarnya dari Singapura. Namun Singapura
menyatakan bahwa mereka mempunyai hak untuk
mengundang setiap kepala negara untuk berkunjung,
tetapi Lee Kuan Yew mengakui bahwa ia tahu PM
Malaysia akan bereaksi.
32Penengah Singapura-Malaysia
Pada tahun 1986, terjadi ketegangan antara
Singapura dengan Malaysia akibat kunjungan
Presiden Israel Chaim Herzog. Malaysia memprotes
kunjungan tersebut dengan memanggil pulang duta
besarnya dari Singapura. Namun Singapura
menyatakan bahwa mereka mempunyai hak untuk
mengundang setiap kepala negara untuk berkunjung,
tetapi Lee Kuan Yew mengakui bahwa ia tahu PM
Malaysia akan bereaksi.
33Segera setelah kejadian itu, Soeharto berkunjung
ke Malaysia, setelah pertemuan itu itu, Soeharto
melakukan perjalanan dengan mobil, tidak dengan
pesawat ke Singapura, dan ditemui oleh PM Lee
dijalan lintasan. Hal ini diartikan oleh beberapa
pengamat sebagai cara Indonesia menunjukkan
kepemimpinan regional. Menurut Chang Heng Chee,
itu merupakan tindakan simbolik menyatukan kedua
negara.
34Pertemuan ASEAN
Ketika Cory Aquino menjadi presiden, Filipina
memerlukan dukungan negara-negara ASEAN lainnya,
dan atas alasan tersebut, diusulkan agar
pertemuan ASEAN ketiga diadakan di Manila.
35Pertemuan ASEAN
- Keamanan adalah suatu persoalan di Manila saat
itu, meskipun demikian Presiden Soeharto
memutuskan untuk hadir dengan mengabaikan
rekomendasi dari para penasehatnya. Menunjukkan
rasa hormat terhadap sikap kepemimpinan dari
peranan Indonesia ini, pertemuan ASEAN ke III
berhasil dilaksanakan pada Desember 1987. - Hal itu adalah dorongan untuk solidaritas ASEAN
dan dipandang sebagai jaminan terhadap stabilitas
regional. Peristiwa ini mengkokohkan kepemimpinan
Soeharto diantara para pemimpin ASEAN. Ini juga
Indonesia yang merancang agenda pertemuan ASEAN
ke-IV tahun 1992.
36Ali Alatas Pernyataan Polugri Baru
Pada bulan Agustus 1988, dalam suatu forum
mengenai politik luar negeri Indonesia di
Yogyakarta, Ali Alatas mengajukan makalah yang
menyatakan bahwa Indonesia harus melanjutkan
peran dominan, baik dalam masalah-masalah
regional maupun internasional, dan harus
memproyeksikan suatu profil yang menonjol.
Beberapa pengamat mengintreprestasikan pernyataan
ini sebagai kebijakan pemerintah yang baru.
37Beijing dan Dili
- Tampaknya profil politik luar negeri Soeharto
yang menonjol tidak selalu mendapat dukungan
militer. Meskipun demikian, Soeharto mampu dengan
jalannya sendiri, seperti terbukti dalam kasus
perbaikan hubungan diplomatik antara
Jakarta-Beijing. - Soeharto membuat pernyataan yang mengejutkan
bulan Februari 1989 yang menyebutkan bahwa
Indonesia akan memulai proses normalisasi
hubungan dengan RRC. Militer tidak antusias
dengan normalisasi dini (early normalization)
ini.
38Beijing dan Dili
Contoh lain dari inisiatif polugri Soeharto
adalah tanggapannya terhadap peristiwa Dili pada
tanggal 12 November 1991. Soeharto berada dalam
posisi mengendalikan secara penuh dan ia ingin
mengambil jarak dengan kalangan militer. Sejak
pengambilalihan Timor Timur menjadi salah satu
isu penting dalam politik luar negeri Soeharto.
39Masalah Timor Timur menjadi isu paling penting
dalam polugri Soeharto. Ini memperlihatkan bahwa
Indonesia dibawah Soeharto menaruh perhatian
terhadap isu keamanan, selain juga sangat
nasionalistik.
40Beijing dan Dili
- Indonesia berkeyakinan memiliki hak untuk
memasukkan Timor Timur sebagai bagian dari
Indonesia, karena masyarakat Timor Timur adalah
saudara-saudara dari masyarakat Indonesia. Ini
adalah contoh yang baik dimana masalah keamanan
dan nasionalisme telah bergabung menjadi satu.
41Contoh Timtim mungkin unik dalam arti Timtim
adalah suatu koloni. Mereka mendapatkan
kemerdekaan (independence) melalui penyatuan
(merger) dengan Indonesia. Tetapi kritik atas
Indonesia mengatakan bahwa ini adalah suatu
bentuk kolonialisme dalam negeri (internal
colonialism). Bahkan mereka khawatir apabila ini
akan menciptakan pola perilaku Indonesia di masa
depan.
42Beijing dan Dili
- Isu Timtim adalah juga penting dalam arti, bahwa
ia adalah salah satu dari isu-isu utama yang
mempengaruhi hubungan Jakarta-Canberra.
Penerimaan masyarakat Australia terhadap
pendudukan sebagai suatu fait accompli secara
bertahap memperbaiki hubungan Australia-Indonesia.
Friksi Timtim dimasa depan mungkin masih akan
terjadi karena isu mengenai pengungsi dan
masalah-masalah lainnya.
43Faktor penting yang berkaitan dengan Isu Timtim,
khususnya dalam Tragedi Dili, adalah peran aktif
yang dimainkan Soeharto. Ia dapat melakukan
inisiatif untuk menentramkan kritik
internasional dan memperlihatkan kepiawaian yang
luar biasa dalam menangani, baik politik dalam
negeri maupun internasional. Leo Suryadinata,
Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto,
LP3ES, Jakarta, 1998, hal 81.